Perkebunan Kalijompo Berdiri Sejak 1884
		
										
						by   
tamasja 
 - November 03, 2025
KALIJOMPO adalah nama sebuah perkebunan swasta di Jember yang dirintis oleh keluarga Francken sejak 1884. Sebagai sejarawan, saya pernah tinggal di dalam lingkungan perkebunan ini selama sepuluh hari. Ia terjadi pada pertengahan tahun lalu, antara akhir Mei hingga Juni 2024. Waktu itu kami tinggal bertiga saja, bersama Zuhana AZ dan Muhammad Iqbal selaku penerjemah Indonesia - Inggris. Lalu ada Abd. Hakim alias Nyala, juga M. Khairurizqi Awalunmutaqim yang lebih akrab dipanggil Bagus. Atas kebaikan manager kebun, Pak Agus Sumaryono namanya, kami diizinkan menempati sebuah rumah kosong yang pernah dijadikan pos BPBD Jember. 
Sekali tempo, sejarawan memang butuh tinggal di suatu tempat dalam rentang waktu tertentu untuk berdekatan dengan arsip tak benda, kerja-kerja etnografi, dan segala hal yang tak tercatat.
Bersama tim kecil, saya melakukan studi lapang untuk kebutuhan Sander Francken. Dia ingin menelusuri masa lalu keluarganya yang pernah tinggal di perkebunan ini. Teristimewa kisah tentang Ayah kandungnya selama berkehidupan di Kalijompo.
Residensi Seni di Perkebunan Kalijompo Jember.
Riset dan studi lapang semacam ini, bila di dunia kolektif seni, ia disebut residensi seni. Tujuannya, menjaring ide dan mengembangkan imajinasi. Caranya, tinggal di suatu tempat dalam kurun waktu tertentu. Hasil dari proses residensi seni biasanya berbentuk pameran seni. Bisa juga dalam bentuk karya seni lain. Tiga bulan lalu, saya dan Zuhana AZ pernah merasakan peristiwa residensi seni ketika kami berdua menjadi pendamping seniman di rangkaian acara Lanskap Bercakap - Kalisat Tempo Dulu 10, persembahan kolektif Sudut Kalisat. Adapun dua seniman yang kami dampingi, satu dari Yogyakarta dan satu lagi seniman asal Tokyo Jepang. Mereka adalah Khoirul Atfifuddin dan Sari Shibata. Bersama mereka, kami tinggal di dua rumah yang saling berdekatan. Atfi tinggal di pos BPBD yang dulu pernah kami tinggali, sedangkan Sari tinggal di kediaman keluarga Pak Sul. Rumah Pak Sul tepat di sisi barat Atfi house.
Kalijompo sebenarnya nama sebuah sungai di Jember. Dia punya hulu sungai di Pegunungan Hyang, Argopuro. Dalam bahasa Jawa, sungai disebut kali. Seharusnya cara menulisnya terpisah, Kali Jompo. Namun semakin ke sini ia lazim ditulis sebagai 'Sungai Kalijompo.' Maka di tulisan ini pun saya menulisnya sebagai 'Perkebunan Kalijompo.'
Secara administratif, Perkebunan Kalijompo masuk dusun Gender desa Klungkung, kecamatan Sukorambi, Jember. Saya punya kedekatan emosional dengan desa Klungkung. Dulu semasa sekolah, saya ditempatkan di desa ini untuk Kuliah Kerja Nyata. Saya juga pernah membawa kesebelasan Mapala Jember untuk tanding persahabatan dengan kesebelasan Young Star di lapangan Perkebunan Kalijompo. Itu sudah lama sekali, 2003, ketika Karina Yuni Putri Kuswanto masih berumur satu tahun. Idi Mulyono, kapten kesebelasan Young Star kala itu, kini dia sudah menjabat sebagai sinder. Dia lulusan S2 dan terus menerus mendalami ilmu perkebunan. Tak hanya urusan kopi dan karet, Idi Mulyono juga belajar tentang panili, cengkeh, hingga nilam.
Teringat Banjir Bandang Panti, ketika Jompo meluap di Hari Lahir Kota Jember.
Selain sungai Bedadung, Jompo adalah sungai legendaris yang membelah Jember wilayah kota. Akan tetapi ia juga punya luka sejarah. Jompo mengingatkan kita pada Bencana Nasional Banjir Bandang Panti yang terjadi pada 1 Januari 2006 dini hari. Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, ia datang ke lokasi bencana di hari kelima. Dari kejadian 'Banjir Bandang Panti' inilah lahir pemikiran tentang sebuah badan penanggulangan bencana baik skala daerah maupun skala nasional. Embrio pemikiran tersebut segera digodog hingga tingkat kementerian. Dari hasil pemikiran yang bermula dari luapan sungai Kalijompo Jember itulah kini kita mengenal BNPB dan BPBD. Ia memiliki job desk yang sama sekali berbeda dengan Basarnas.
Hari ini ketika kita membuka mesin pencari google dan mengetikkan kata kunci 'Perkebunan Kalijompo,' maka yang muncul adalah seputar wisata Kalijompo. Pada 31 Januari 2024, Mongabay Indonesia menurunkan artikel dengan judul; Wisata Kali Jompo Jember, Jaga Alam Sekaligus Bantu Ekonomi Masyarakat.
Wisata Kali Jompo menawarkan orang untuk bisa duduk-duduk di tepi sungai, mandi, bermain air dan batu, bisa juga melakukan camping. Kebetulan saya mengenal penggagasnya, Zainul Muhtadi. Dia teman saya semasa sekolah di SMP Negeri 7 Jember.
Saya suka berlama-lama di sepanjang ruas sungai Kalijompo. Ia kaya akan aneka capung, baik capung besar maupun capung jarum.
Hari ini kami melakukan perjalanan berenam, dari Kedai WTC Jember menuju Perkebunan Kalijompo. Sebelum memasuki portal perkebunan, kami belanja bahan-bahan masakan dulu. Sesampainya di rumah pasutri Samsul Arifin dan Rukmawati, kami segera ke dapur dan memulai proses memasak. Lama kemudian, barulah kami makan bersama di pelataran rumah mereka. Kini di pelataran rumah itu diberi atap berbahan kayu, bambu dan atap asbes.
Tadi ketika di Kedai WTC kami masih bersama Qorry Aina Damayanti, Haqi, Resti. Setelah melakukan zoom meeting bersama Abi Malik dari Dana Indonesiana, mereka pulang duluan. Kami pun sebenarnya tidak memiliki rencana untuk masak dan makan bersama di Perkebunan Kalijompo. Kami berniat makan di Warung Soember Burnih. Rupanya kami tiba terlalu senja. Warung itu telah tutup, bahan-bahannya telah habis. Pemilik Soember Burnih sampai meminta maaf kepada kami. Itulah mengapa kemudian kami memiliki ide dadakan untuk makan di rumah Bu Ruk saja.
Usai makan bersama, saya menuliskan catatan berjudul 'Perkebunan Kalijompo Berdiri Sejak 1884' ini. Saya jadi teringat saat-saat ketika kami membersihkan tempat pemujaan kuno di atas sebuah bukit di dalam areal perkebunan. Orang kebun menyebutnya sebagai arca. Bersama Mas Krisna Kurniawan dan beberapa teman dari Sudut Kalisat, juga Pak Amsar, pada 1 Juni 2024 lokasi pemujaan kuno tersebut kami bersihkan dari semak dan ilalang yang invasif.
Saya sempat mendiskusikan arca itu kepada seorang akademisi dari UIN KHAS Jember, Mawardi Purbo Sanjoyo. Ia bilang, apa yang disebut oleh warga sebagai arca sesungguhnya adalah seperangkat punden berundak.
Teringat tentang Perkebunan Kalijompo, teringat pula cerita rakyat tentang nama lingkungan ini sebelumnya, yaitu Petung Roto. Lidah Madura Jemberan menyebutnya sebagai 'Tong Ratah.' Dia punya mantra tersendiri yang awet karena tutur tinular, yaitu, "Tong Ratah, tong-ngantong e bebenah matah." Warga yang tinggal di perkebunan ini percaya, sejauh apapun mereka berkelana, Kalijompo akan tetap ada di hati. Kenangannya akan selalu menggelantung. Terasa dekat, sedekat kantung mata bagian bawah.
Mengapa malam ini kami tiba-tiba melakukan pesta kebun dan makan bersama di bawah atap asbes yang baru dipasang bulan lalu? Mungkin karena tong ratah, tong-ngantong e bebenah matah. Ya, mungkin kami hanya sedang rindu.
Perkebunan Kalijompo, kini ia telah berumur 141 tahun. Ia punya kisah yang indah dan mungkin juga luka. Itu semua turut mewarnai tumbuh kembang kabupaten Jember yang pernah muncul dan mencuat sebagai Kota Metropolitan Perkebunan di Jawa sejak 1856. Hingga satu abad kemudian, kisahnya ditutup oleh peristiwa Sinterklas Hitam. Sejak 5 Desember 1957 sampai tiga tahun kemudian, cerita tentang kejayaan perkebunan di negeri ini menjadi tak sama lagi.
Sekali tempo, sejarawan memang butuh tinggal di suatu tempat dalam rentang waktu tertentu untuk berdekatan dengan arsip tak benda, kerja-kerja etnografi, dan segala hal yang tak tercatat.
Bersama tim kecil, saya melakukan studi lapang untuk kebutuhan Sander Francken. Dia ingin menelusuri masa lalu keluarganya yang pernah tinggal di perkebunan ini. Teristimewa kisah tentang Ayah kandungnya selama berkehidupan di Kalijompo.
Residensi Seni di Perkebunan Kalijompo Jember.
Riset dan studi lapang semacam ini, bila di dunia kolektif seni, ia disebut residensi seni. Tujuannya, menjaring ide dan mengembangkan imajinasi. Caranya, tinggal di suatu tempat dalam kurun waktu tertentu. Hasil dari proses residensi seni biasanya berbentuk pameran seni. Bisa juga dalam bentuk karya seni lain. Tiga bulan lalu, saya dan Zuhana AZ pernah merasakan peristiwa residensi seni ketika kami berdua menjadi pendamping seniman di rangkaian acara Lanskap Bercakap - Kalisat Tempo Dulu 10, persembahan kolektif Sudut Kalisat. Adapun dua seniman yang kami dampingi, satu dari Yogyakarta dan satu lagi seniman asal Tokyo Jepang. Mereka adalah Khoirul Atfifuddin dan Sari Shibata. Bersama mereka, kami tinggal di dua rumah yang saling berdekatan. Atfi tinggal di pos BPBD yang dulu pernah kami tinggali, sedangkan Sari tinggal di kediaman keluarga Pak Sul. Rumah Pak Sul tepat di sisi barat Atfi house.
Kalijompo sebenarnya nama sebuah sungai di Jember. Dia punya hulu sungai di Pegunungan Hyang, Argopuro. Dalam bahasa Jawa, sungai disebut kali. Seharusnya cara menulisnya terpisah, Kali Jompo. Namun semakin ke sini ia lazim ditulis sebagai 'Sungai Kalijompo.' Maka di tulisan ini pun saya menulisnya sebagai 'Perkebunan Kalijompo.'
Secara administratif, Perkebunan Kalijompo masuk dusun Gender desa Klungkung, kecamatan Sukorambi, Jember. Saya punya kedekatan emosional dengan desa Klungkung. Dulu semasa sekolah, saya ditempatkan di desa ini untuk Kuliah Kerja Nyata. Saya juga pernah membawa kesebelasan Mapala Jember untuk tanding persahabatan dengan kesebelasan Young Star di lapangan Perkebunan Kalijompo. Itu sudah lama sekali, 2003, ketika Karina Yuni Putri Kuswanto masih berumur satu tahun. Idi Mulyono, kapten kesebelasan Young Star kala itu, kini dia sudah menjabat sebagai sinder. Dia lulusan S2 dan terus menerus mendalami ilmu perkebunan. Tak hanya urusan kopi dan karet, Idi Mulyono juga belajar tentang panili, cengkeh, hingga nilam.
Teringat Banjir Bandang Panti, ketika Jompo meluap di Hari Lahir Kota Jember.
Selain sungai Bedadung, Jompo adalah sungai legendaris yang membelah Jember wilayah kota. Akan tetapi ia juga punya luka sejarah. Jompo mengingatkan kita pada Bencana Nasional Banjir Bandang Panti yang terjadi pada 1 Januari 2006 dini hari. Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, ia datang ke lokasi bencana di hari kelima. Dari kejadian 'Banjir Bandang Panti' inilah lahir pemikiran tentang sebuah badan penanggulangan bencana baik skala daerah maupun skala nasional. Embrio pemikiran tersebut segera digodog hingga tingkat kementerian. Dari hasil pemikiran yang bermula dari luapan sungai Kalijompo Jember itulah kini kita mengenal BNPB dan BPBD. Ia memiliki job desk yang sama sekali berbeda dengan Basarnas.
Hari ini ketika kita membuka mesin pencari google dan mengetikkan kata kunci 'Perkebunan Kalijompo,' maka yang muncul adalah seputar wisata Kalijompo. Pada 31 Januari 2024, Mongabay Indonesia menurunkan artikel dengan judul; Wisata Kali Jompo Jember, Jaga Alam Sekaligus Bantu Ekonomi Masyarakat.
Wisata Kali Jompo menawarkan orang untuk bisa duduk-duduk di tepi sungai, mandi, bermain air dan batu, bisa juga melakukan camping. Kebetulan saya mengenal penggagasnya, Zainul Muhtadi. Dia teman saya semasa sekolah di SMP Negeri 7 Jember.
Saya suka berlama-lama di sepanjang ruas sungai Kalijompo. Ia kaya akan aneka capung, baik capung besar maupun capung jarum.
Di pelataran rumah Pak Sul di Perkebunan Kalijompo. Dokumentasi oleh Zuhana AZ, 3 November 2025
Hari ini kami melakukan perjalanan berenam, dari Kedai WTC Jember menuju Perkebunan Kalijompo. Sebelum memasuki portal perkebunan, kami belanja bahan-bahan masakan dulu. Sesampainya di rumah pasutri Samsul Arifin dan Rukmawati, kami segera ke dapur dan memulai proses memasak. Lama kemudian, barulah kami makan bersama di pelataran rumah mereka. Kini di pelataran rumah itu diberi atap berbahan kayu, bambu dan atap asbes.
Tadi ketika di Kedai WTC kami masih bersama Qorry Aina Damayanti, Haqi, Resti. Setelah melakukan zoom meeting bersama Abi Malik dari Dana Indonesiana, mereka pulang duluan. Kami pun sebenarnya tidak memiliki rencana untuk masak dan makan bersama di Perkebunan Kalijompo. Kami berniat makan di Warung Soember Burnih. Rupanya kami tiba terlalu senja. Warung itu telah tutup, bahan-bahannya telah habis. Pemilik Soember Burnih sampai meminta maaf kepada kami. Itulah mengapa kemudian kami memiliki ide dadakan untuk makan di rumah Bu Ruk saja.
Usai makan bersama, saya menuliskan catatan berjudul 'Perkebunan Kalijompo Berdiri Sejak 1884' ini. Saya jadi teringat saat-saat ketika kami membersihkan tempat pemujaan kuno di atas sebuah bukit di dalam areal perkebunan. Orang kebun menyebutnya sebagai arca. Bersama Mas Krisna Kurniawan dan beberapa teman dari Sudut Kalisat, juga Pak Amsar, pada 1 Juni 2024 lokasi pemujaan kuno tersebut kami bersihkan dari semak dan ilalang yang invasif.
Saya sempat mendiskusikan arca itu kepada seorang akademisi dari UIN KHAS Jember, Mawardi Purbo Sanjoyo. Ia bilang, apa yang disebut oleh warga sebagai arca sesungguhnya adalah seperangkat punden berundak.
Teringat tentang Perkebunan Kalijompo, teringat pula cerita rakyat tentang nama lingkungan ini sebelumnya, yaitu Petung Roto. Lidah Madura Jemberan menyebutnya sebagai 'Tong Ratah.' Dia punya mantra tersendiri yang awet karena tutur tinular, yaitu, "Tong Ratah, tong-ngantong e bebenah matah." Warga yang tinggal di perkebunan ini percaya, sejauh apapun mereka berkelana, Kalijompo akan tetap ada di hati. Kenangannya akan selalu menggelantung. Terasa dekat, sedekat kantung mata bagian bawah.
Mengapa malam ini kami tiba-tiba melakukan pesta kebun dan makan bersama di bawah atap asbes yang baru dipasang bulan lalu? Mungkin karena tong ratah, tong-ngantong e bebenah matah. Ya, mungkin kami hanya sedang rindu.
Perkebunan Kalijompo, kini ia telah berumur 141 tahun. Ia punya kisah yang indah dan mungkin juga luka. Itu semua turut mewarnai tumbuh kembang kabupaten Jember yang pernah muncul dan mencuat sebagai Kota Metropolitan Perkebunan di Jawa sejak 1856. Hingga satu abad kemudian, kisahnya ditutup oleh peristiwa Sinterklas Hitam. Sejak 5 Desember 1957 sampai tiga tahun kemudian, cerita tentang kejayaan perkebunan di negeri ini menjadi tak sama lagi.





